Hak Asasi Manusia
HAM adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, danpasal 31 ayat 1
Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
- Penindasan dan membatasi hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
- Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
- Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan penguasa dan partai tiran/otoriter.
Eksistensi
Republik Indonesia merupakan negara yang terdiri dari belasan ribu pulau yang dihuni oleh ratusan etnik dan bahasa daerah yang dipersatukan oleh asas yang sama yakni Pancasila. Walaupun sudah sering digoyang dan dicoba untuk diganti, Pancasila tetap kukuh berdiri sebagai falsafah dan landasan negara. Selain Pancasila, pilar negara yang lain yang turut menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara adalah UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar negara ini merupakan suatu kesatuan yang harmonis di tengah pluralitas kebangsaan yang mendiami Nusantara ini.
Sejak awal kemerdekaan pada 1945, Pancasila merupakan target segelintir oknum inelektual untuk diganti. Bermula pada dicetuskannya gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan yang menginginkan agama sebagai falsafah negara. Lalu bentuk federal pun pernah dicoba untuk mengganti Pancasila, namun hanya berumur tak sampai setahun. Kemudian berlanjut pada “sayap kiri” komunisme yang mendambakan diri sebagai ideologi negara. Adagium “politik adalah panglima” yang dicetuskan tokoh PKI, D.N Aidit semakin membuktikan bahwa komunisme sangat berhasrat untuk menjadi anutan di republik ini. Namun semua gangguan terhadap Pancasila tersebut dapat dipatahkan karena rakyat semua sadar bahwa hanya Pancasila-lah, bukan ideologi yang lain, yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.
Namun pasca Reformasi tahun 1998, Pancasila sebagai falsafah negara kembali mulai dipertanyakan dan bahkan secara sistematis ingin diubah. Hal itu tampak seperti ditiadakannya pelajaran Pancasila di dalam kurikulum pendidikan selama 10 tahun ini, dan “hanya” menyisakan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran untuk mengenal sendi-sendi kenegaraan. Dan efek dari ketiadaan Pancasila di pendidikan bisa kita rasakan sekarang, yakni semakin kacaunya kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang ditandai dengan semakin beringasnya warga terhadap saudara sebangsanya sendiri, teror bom, pengrusakan tempat-tempat ibadah, sampai keinginan tokoh masyarakat daerah tertentu yang menginginkan kemerdekaan. Kekacauan ini juga semakin diperparah oleh ketidakhadiran pemerintah dalam setiap permasalahan di atas yang dialami masyarakat dan perilaku koruptif yang secara vulgar dipertontonkan banyak oknum pejabat kepada publik.
Pemerintahan Kaum Pesolek
Presiden SBY yang menjabat dua periode sejak 2004 ternyata gagal dalam mengantisipasi konflik-konflik yang berakar dari semakin menipisnya pemahaman Pancasila di masyarakat. Kekerasan atas nama agama semakin marak terjadi dan seolah-olah hanya dianggap kejadian biasa oleh SBY. Yang lebih ironis lagi adalah hampir tiap minggu jemaat gereja yang beribadah di depan istana kepresidenan karena tidak bisa beribadah di gerejanya, namun presiden tidak menganggapinya secara serius. SBY mungkin terlalu disibukkan untuk mengurus partainya, sehingga permasalahan yang terjadi di depan mata pun tidak nampak. Hal ini semakin terbukti ketika SBY merelakan diri untuk “turun kasta” menjadi ketua partai binaannya, walau dihiasi oleh sejumlah persyaratan.
Pemerintahan yang hanya pintar untuk bersolek alias pencitraan hanya akan menguntungkan kaum ekstrimis yang berusaha menggoyang kedaulatan negara dengan berbagai cara. Mereka inilah yang banyak menghasut kaum muda, terutama mahasiswa, untuk mempertanyakan hakikat Pancasila dan demokrasi. Mahasiswa yang umumnya masih dalam taraf pencarian jati diri itu pun dengan mudahnya menjadi kader-kader yang menyebarkan paham anti-Pancasila dan sekaligus anti-NKRI.
Gejala awal indikasi adanya disintegrasi ini sebenarnya bisa dicegah pemerintah jika saja peran intelijen lebih dimaksimalkan. Namun sepertinya intelijen sendiri pun luput untuk mengantisipasi hal ini, bahkan intelijen kita sekarang kalah jauh dengan intelijen zaman Orde Baru. Contoh teranyar dari kurang maksimal kinerja intelijen adalah ketika adanya info yang sampai ke SBY tentang kudeta yang akan terjadi, namun itu semua nyatanya tidak terbukti .
Ancaman disintegrasi yang nampaknya secara sistematis dilakukan para pengkhianat Pancasila ini tak boleh dianggap enteng oleh pemerintahan SBY. Mungkin sekarang mereka masih dalam skala sel pergerakannya, namun tidak tertutup kemungkinan organisasi mereka akan menggurita di tahun-tahun mendatang. Hal tersebut harus segera dicegah dari sekarang mumpung organisasi mereka belum besar.
Namun pasca Reformasi tahun 1998, Pancasila sebagai falsafah negara kembali mulai dipertanyakan dan bahkan secara sistematis ingin diubah. Hal itu tampak seperti ditiadakannya pelajaran Pancasila di dalam kurikulum pendidikan selama 10 tahun ini, dan “hanya” menyisakan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran untuk mengenal sendi-sendi kenegaraan. Dan efek dari ketiadaan Pancasila di pendidikan bisa kita rasakan sekarang, yakni semakin kacaunya kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang ditandai dengan semakin beringasnya warga terhadap saudara sebangsanya sendiri, teror bom, pengrusakan tempat-tempat ibadah, sampai keinginan tokoh masyarakat daerah tertentu yang menginginkan kemerdekaan. Kekacauan ini juga semakin diperparah oleh ketidakhadiran pemerintah dalam setiap permasalahan di atas yang dialami masyarakat dan perilaku koruptif yang secara vulgar dipertontonkan banyak oknum pejabat kepada publik.
Pemerintahan Kaum Pesolek
Presiden SBY yang menjabat dua periode sejak 2004 ternyata gagal dalam mengantisipasi konflik-konflik yang berakar dari semakin menipisnya pemahaman Pancasila di masyarakat. Kekerasan atas nama agama semakin marak terjadi dan seolah-olah hanya dianggap kejadian biasa oleh SBY. Yang lebih ironis lagi adalah hampir tiap minggu jemaat gereja yang beribadah di depan istana kepresidenan karena tidak bisa beribadah di gerejanya, namun presiden tidak menganggapinya secara serius. SBY mungkin terlalu disibukkan untuk mengurus partainya, sehingga permasalahan yang terjadi di depan mata pun tidak nampak. Hal ini semakin terbukti ketika SBY merelakan diri untuk “turun kasta” menjadi ketua partai binaannya, walau dihiasi oleh sejumlah persyaratan.
Pemerintahan yang hanya pintar untuk bersolek alias pencitraan hanya akan menguntungkan kaum ekstrimis yang berusaha menggoyang kedaulatan negara dengan berbagai cara. Mereka inilah yang banyak menghasut kaum muda, terutama mahasiswa, untuk mempertanyakan hakikat Pancasila dan demokrasi. Mahasiswa yang umumnya masih dalam taraf pencarian jati diri itu pun dengan mudahnya menjadi kader-kader yang menyebarkan paham anti-Pancasila dan sekaligus anti-NKRI.
Gejala awal indikasi adanya disintegrasi ini sebenarnya bisa dicegah pemerintah jika saja peran intelijen lebih dimaksimalkan. Namun sepertinya intelijen sendiri pun luput untuk mengantisipasi hal ini, bahkan intelijen kita sekarang kalah jauh dengan intelijen zaman Orde Baru. Contoh teranyar dari kurang maksimal kinerja intelijen adalah ketika adanya info yang sampai ke SBY tentang kudeta yang akan terjadi, namun itu semua nyatanya tidak terbukti .
Ancaman disintegrasi yang nampaknya secara sistematis dilakukan para pengkhianat Pancasila ini tak boleh dianggap enteng oleh pemerintahan SBY. Mungkin sekarang mereka masih dalam skala sel pergerakannya, namun tidak tertutup kemungkinan organisasi mereka akan menggurita di tahun-tahun mendatang. Hal tersebut harus segera dicegah dari sekarang mumpung organisasi mereka belum besar.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar